Jumat, 01 Februari 2013

Mengapa Manusia Diwajibkan Menuntut Ilmu?طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ



“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan” (H.R. ibnu Majah)
Islam merupakan agama yang identik dengan Ilmu Pengetahuan. Al Qur’an sebagai Kitab Sucinya dan pedoman bagi umatnya sejak dini telah berbicara tentang ilmu, hal ini tampak jelas apada ayat pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1)خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَ َكْرَمُ(3)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ(4)عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang telah Men-ciptakan, Tuhan yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia, Yang mengajakan (manusia) dengan perantaraan Qalam. Yang mengajarkan manusia apa-apa yang tidak ia ketahui.” (Q.S. Al ‘Alaq: 1-5)

Rasulullah sering berbicara tentang keutamaan ilmu dan bahkan mewajibkan ummatnya untuk menuntut ilmu, sebagaimana sabda beliau pada hadits di atas. Perintah untuk menuntut ilmu ini merupakan salah satu pusat perhatian Islam bagi para pemeluknya. Pada awal-awal perkembangan Islam, para sahabat tidak mengenal perbedaan antara Ilmu dan Agama. Mempelajari Agama berarti mempelajari Ilmu, begitu sebaliknya, mempelajari Ilmu berarti mempelajari Agama. Sehingga pada masa ini mempelajari Ilmu sama pentingnya dengan mempelajari Agama. Hal ini dapat dipahami, karena disiplin Ilmu pada masa itu belum dibeda-bedakan sebagai-mana yang kita kenal sekarang.

Lalu muncul sebuah pertanyaan, mengapa manusia yang dalam hal ini adalah umat Islam, diwajibkan untuk menuntut ilmu? Hal ini sebenarnya telah dijawab oleh Al-Qur’an sendiri, dimana menurut Al-Qur’an, Allah mencipta-kan manusia dalam keadaan vakum dari ilmu, lalu Allah memberinya perangkat ilmu agar mampu menggali ilmu dan mempelajarinya. Karena memang ilmu itu harus digali, di-pelajari, dan diamalkan sebagaimana firman-Nya:

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَ اْلأَبْْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati agar kalian bersyukur”. (Q.S. An Nahl: 78)

Pendengaran, penglihatan dan hati atau akal adalah merupakan perangkat atau alat untuk menuntut ilmu. Perangkat ilmu yang Allah berikan kepada manusia merupa-kan sebuah potensi yang tiada ternilai harganya, dengan penglihatan, pendengaran dan hati (akal) manusia mampu menggali ilmu. Karena kemampuannya menalar dan mem-punyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikiran yang abstrak. Maka dalam hal ini menusia bukan saja memiliki pengetahuan, melainkan juga mampu mengem-bangkannya.

Pengetahuan itu diperoleh manusia bukan hanya dengan penalaran, melainkan juga dengan kegiatan berfikir lainnya, dengan perasaan dan intuisi. Lain halnya dengan hewan yang tidak memiliki potensi tersebut karena hewan tidak mampu berbuat seperti apa yang dapat dicapai oleh manusia. Maka sangat beralasan jika Allah memerintahkan manusia untuk menggali lautan ilmu-Nya.

Perintah ini begitu jelas Allah maklumkan lewat firman-Nya dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5 sebagaimana di atas, dimana kita diperintahkan untuk membaca, bukan saja dalam arti sempit atau membaca secara harfiyah (qira’ah qauliyyah). Tapi juga dalam makna yang luas, yakni membaca ayat-ayat Allah yang tergores pada alam semesta (qira’ah kauniyyah), baik berupa fakta-fakta kasat mata, maupun yang tersebut pada kejadian-kejadian, proses, sebab akibat, sejarah dan sebagainya.

Kita tentunya masih ingat akan peristiwa besar tentang penciptaan manusia yang digambarkan dalam Al Qur’an, yang mana setelah Adam AS diciptakan, Allah mempertemukan malaikat dengan Adam berhadap-hadapan, lalu Allah bertanya kepada malaikat: “Beritahu Aku nama-nama benda ini!” Malaikat menjawab: “Keagungan milik-Mu, kami tidak tahu, kami hanya mengetahui apa yang sudah Engkau beritahukan kepada kami, kami tidak mengetahui selain itu.” Tetapi Adam AS. yang telah diberikan Allah kemampuan untuk menguasai pengetahuan kreatif, dapat memberi nama-nama benda itu. Jadi manusia, yang dalam hal ini Adam AS. memiliki kemampuan untuk menguasai ilmu.

Dari peristiwa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang paling berhak untuk menjadi khalifah di bumi, karena potensi keilmuan yang mereka miliki. Dan dengan ilmu, manusia mampu menyingkap rahasia alam, sehingga ia sadar akan kebesaran Sang Pencipta dan bertambah ketaqwaannya. Jika ada manusia yang tidak mau memanfaatkan potensi yang ia miliki, berarti ia tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepadanya, karena telah menyia-nyiakan potensi tersebut sehingga menjadi suatu hal yang mubazir. Peristiwa yang diabadikan Al Qur’an di atas merupakan suatu catatan yang harus senantiasa diingat oleh manusia, agar ia menyadari dirinya dengan sesadar-sadarnya bahwa ia memiliki potensi yang sangat besar untuk menggali lautan ilmu Allah serta mengembangkannya untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.

Hadits “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan” ini begitu selaras dengan sebuah pribahasa yang mengatakan “Kalaulah bukan karena ilmu, maka manusia tak ubahnya seperti binatang”. Pribahasa ini di satu sisi mengungkapkan perbedaan antara manusia dan hewan dan di sisi lain merupakan sindiran bagi manusia untuk menuntut dan menguasai ilmu, agar ia tidak dibodoh-bodohi dan tidak dikatakan seperti binatang.

Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/ezines-and-newsletters/1990527-mengapa-manusia-diwajibkan-menuntut-ilmu/#ixzz2JerG6xPD

2 komentar: